Saya Bermain Final Fantasy IX Lagi

Ada spoiler yaa~

Final Fantasy IX (HD rerelease)

Nintendo Switch Lite ǀ Square Enix ǀ 24 Juni 2021

PSE Mangga Dua dan Multi menjadi saksi perkenalan saya dengan seri Final Fantasy di Play Station 1. Awalnya saya membeli Final Fantasy VIII di Multi Plaza Indonesia sebelah Café Excelso, lalu Final Fantasy IX dan setelah direkomendasikan teman sekelas, baru main Final Fantasy VII. Waktu itu bahasa inggris saya masih cupu banget, malahan saya benci sama mata pelajaran ini. Jadi dengan bekal seadanya, saya melihat Zidane seperti maling Hanoman tengil yang kelakuannya suka-suka dia. Dan Vivi sebagai makhluk yang kerjaannya sedih terus. Ngga jelas si cebol hitam ini, padahal magic attack-nya oke. Jadi dulu saya melihat Final Fantasy IX yang mengambil konsep karakter lucu dan tidak menarik, karena dulu, yang menarik ya yang keren. Kayak Squall sama Cloud gitulah.

Dua puluh tahun kemudian, saya bermain Final Fantasy IX lagi sampai tamat. Setelah sekian lama bermain game-game yang ceritanya kelam realistis seperti The Last of Us, Assassin’s Creed Origin dan sejenisnya, rasanya menyenangkan sekali melihat sebuah akhir cerita yang manis. It feels amazing. Final Fantasy IX HD rerelease saya beli saat diskon di Nintendo e-shop seharga tidak sampai $10 atau sekitar Rp 150,000. Harga yang masih lumayan mahal untuk game tahun 2000, mungkin Square Enix sudah tahu anak-anak ini sekarang sudah bekerja dan punya uang. Dari penampilan, detail karakter-karakter di Final Fantasy IX sudah diperhalus dan menjadi lebih bagus. Terlihat wajah Garnet lebih ekspresif dan detail pakaian Vivi lebih enak dipandang. Namun dari penampilan background dan bangunan masih mengambil konsep aslinya. Jadi masih buram dan jadi terlihat agak kontras dengan penampilan karakter yang sudah dipoles lebih tajam. Tampilan di layar juga 4:3 bukan full screen, jadi di layar kosong kiri dan kanan diisi “grey borders”. Selain itu tampilan font berbeda dengan versi aslinya. Walau tidak sampai mengganggu, namun sekarang saya menyadari betapa klasiknya font putih di Final Fantasy IX.

Dari segi gameplay, Final Fantasy IX memberikan fitur khusus untuk mempermudah pemain yang tidak punya banyak waktu untuk grinding. contohnya antara lain attack 9999 damage, no enemy encounters, dan battle assistance. Walau begitu tidak ada fitur untuk langsung menang saat Tetra Master, salah satu minigame Final Fantasy IX yang masih sulit dipahami aturan bermainnya. Saya mengambil konsep pokoknya kalau angka dan alfabetnya lebih besar dari lawan, berarti saya bisa menang, tapi tentu tidak semudah itu hehehe.. akhirnya saya mendapat rank Coach dengan total 76 tipe kartu terkumpul. Namun itu masih tidak apa-apa dibanding saat bermain minigame Chocobo Hot and Cold. Ini adalah minigame di mana kita mengendarai chochobo untuk memburu harta karun, caranya kita mendeteksi dari paruh si chocobo. Dulu di PS 1 saya berhasil mengumpulkan banyak chocograph sampai chocobo bisa ke laut dan gunung. Tapi yang sekarang, boro-boro ☹ saya hanya dapat 1 chocograph, dan sampai chocobeak saya level 10, chocobo saya belum bisa ke laut apalagi ke gunung. Sepertinya hoki gacha saya sudah hangus  direbut saat main Genshin Impact. Jadi pupus sudah harapan saya mendapat ultimate weapon untuk Zidane dan Garnet…

Setelah dihibur dan diingatkan “udah, kurangin completionist-nya, mending fokus tamatin aja” akhirnya saya mulai mengikuti alur cerita dari awal. Pertemanan antar karakter dari latar belakang yang berbeda sungguh terasa. Sekarang saya melihat sisi lain Zidane: ketulusannya untuk langsung menolong tanpa alasan. Ya pokoknya dia mau tolong aja selama sanggup, tidak usah pakai alasan. Amarant paling bingung dengan kelakuan Zidane ini, dan Zidane tetap dengan prinsip “yaudah, gue mau tolong kok, kasian.” Mantap. Dulu saya pikir Garnet is just another princess yang lemah lembut, tapi sekarang saya menyukai dia. Mulai dari ikut sedih di titik terendahnya saat melihat semua yang dia sayang hancur, moment gunting rambut sebagai *oke saatnya berjuang* sampai menjadi karakter yang kuat, namun tetap bertutur lembut. Dan Vivi, oh Vivi. Tidak heran kamu dinobatkan karakter kesukaan oleh banyak orang. Now I know why. Saat Vivi tahu bahwa dia “hanyalah” makhluk buatan, hanya jadi budak musuh. Tidak punya peran lebih. Di saat itu teman-teman Vivi juga menjaga ucapannya saat ingin mengalahkan musuh tersebut, karena mereka tahu, mereka juga akan melawan kaumnya Vivi. Hal-hal kecil yang sensitif  namun bermakna. Karakter Zidane yang bodo amat juga membantu Vivi untuk tidak terlalu overthinking tentang dirinya. Yaudah, it sucks jadi makhluk buatan, tapi yang penting sekarang kamu bisa apa nih? Bisa tolongin temen dengan magic attack kan? Hayuk sini tolong temen kita, bareng-bareng 😀

Sekarang pun saya menyadari kisah romansa bukan hanya tentang Zidane dan Garnet saja. Steiner dan Beatrix juga ada. Mereka yang canggung dan kaku karena sama-sama di bidang militer, pelan-pelan mencoba mengkomunikasikan rasa yang ada. Masih banyak cerita tiap karakter yang belum bisa saya tulis di sini, seperti Quina yang tujuan hidupnya adalah: makan. Sesederhana itu. Dengan kosakata yang terbatas dan sering menghilang suka-suka dia. Namun saya ingin menyimpan semua agar kalian bisa mengalaminya sendiri ^^ 20 tahun memainkan kembali game yang memiliki jalan cerita ternyata memberikan kesan dan pengalaman yang berbeda. Dulu saat masih bocah, ya maunya hajar musuh saja. Apalagi karakternya tidak ada yang cakep (dangkal banget ya). Dulu saya bingung kenapa Zidane yang paling semangat menjadi putus asa ketika bertemu dengan kaumnya, sekarang, saya tahu rasanya diberikan garis takdir yang tidak bisa diubah. Dulu saya kesal dengan Steiner yang overprotective dengan Garnet, sekarang saya tahu, rasanya seperti seorang ayah yang mau menjaga anak perempuan kesayangannya. Tugas yang dengan bangga ia emban hingga akhir.

Di akhir cerita pun selalu terselip adegan-adegan yang manis, teatrikal, khas JRPG klasik yang saya rindukan, dan yang paling utama, tidak membosankan. Walau saya sudah bermain berbagai macam RPG setelahnya, Final Fantasy IX memiliki formula ajaib yang bisa menyentuh perasaan lega dan senang. Semacam petualangan ini tidak sia-sia. It deserves a happy ending, and Final Fantasy IX truly is, a happy ending.

Leave a comment